Pangkalpinang (ANTARA) - Selama berpuluh-puluh tahun, nama Bangka Belitung selalu identik dengan timah. Kekayaan alam yang satu ini telah menjadi denyut nadi ekonomi masyarakat sejak zaman kolonial. Timah tidak hanya membentuk struktur ekonomi lokal, tetapi juga menciptakan budaya kerja dan cara hidup masyarakat yang bergantung pada tambang. Namun, kenyataan hari ini sudah berubah. Sumber daya menipis, lingkungan rusak, dan ketergantungan ekonomi semakin mengkhawatirkan. Inilah saatnya kita bertanya: apakah kita akan terus bertahan dalam pola lama, atau mulai membangun jalan baru?
Saya percaya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk Bangka Belitung beranjak dari bayang-bayang timah dan melangkah menuju ekonomi hijau, sebuah pendekatan pembangunan yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Mengapa ekonomi hijau? Jawabannya sederhana: karena pilihan selain itu hanya akan membawa kita pada krisis yang lebih dalam. Kita tidak bisa terus menggali bumi tanpa batas, tanpa memikirkan warisan yang kita tinggalkan bagi generasi mendatang. Bahkan saat ini pun, kita sudah mulai merasakan dampaknya: danau bekas tambang yang menganga, tanah yang tak lagi subur, hingga konflik sosial yang muncul akibat tambang ilegal.
Padahal, potensi Bangka Belitung jauh lebih luas dari sekadar timah. Kita punya pantai-pantai eksotis, gugusan pulau yang memesona, dan budaya lokal yang kaya. Keindahan alam ini bukan hanya milik kita, tapi juga bisa menjadi sumber ekonomi yang berkelanjutan jika dikelola dengan bijak. Kawasan Geopark Belitung, misalnya, adalah pengakuan internasional atas kekayaan geologis kita. Namun pengakuan saja tidak cukup; yang kita butuhkan adalah aksi nyata untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan, bukan sekadar mengejar angka kunjungan wisatawan, tapi juga memastikan masyarakat lokal menjadi bagian utama dari ekonomi ini.
Belum lagi potensi di sektor pertanian, perikanan, dan UMKM. Produk lokal seperti lada putih Bangka yang mendunia, hasil laut yang melimpah, serta kerajinan masyarakat bisa menjadi kekuatan ekonomi baru jika kita berani mendorong hilirisasi, inovasi, dan digitalisasi. Tapi semua ini hanya bisa terjadi jika ada dukungan serius dari pemerintah daerah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan.
Sebagai mahasiswa Universitas Bangka Belitung, saya merasa terpanggil untuk ikut terlibat dalam transformasi ini. Tidak cukup hanya menulis makalah atau berdiskusi di kelas. Kami, generasi muda Babel, harus mulai menciptakan inisiatif, ikut dalam proyek sosial-ekonomi yang ramah lingkungan, serta menjadi bagian dari perubahan cara pikir masyarakat terhadap pembangunan.
Pemerintah juga harus berani mengambil keputusan besar. Sudah saatnya investasi ditarik ke sektor-sektor yang benar-benar membawa manfaat jangka panjang. Alih-alih terus memberikan ruang bagi pertambangan yang merusak, lebih baik kita buka pintu untuk investasi di sektor energi terbarukan, pengelolaan limbah, ekowisata, atau pertanian modern.
Kita tahu, mengubah arah ekonomi bukan perkara mudah. Akan banyak tantangan: dari resistensi budaya, kepentingan politik, hingga keterbatasan anggaran. Tapi lebih berbahaya lagi jika kita tidak berubah sama sekali. Diam berarti menyetujui kerusakan terus terjadi.
Saya percaya, Bangka Belitung tidak kekurangan orang pintar, tidak kekurangan sumber daya, dan tidak kekurangan harapan. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk berubah dan ketegasan dalam bertindak. Ekonomi hijau bukan utopia, tapi keniscayaan jika kita mau bekerja sama. Mari kita jadikan masa depan Babel bukan lagi tergantung pada apa yang kita ambil dari bumi, tetapi pada apa yang bisa kita ciptakan dan wariskan bersama.
*) Penulis adalah Mahasiswa Prodi Manajemen, Universitas Bangka Belitung
Meninggalkan tambang timah, menyambut harapan baru: Ekonomi hijau untuk Bangka Belitung
Oleh Marta Apriliyani *) Sabtu, 14 Juni 2025 20:42 WIB
